Jumat, 07 Juni 2024

Saling Mengingatkan tentang Niat


Saling Mengingatkan tentang Niat

Oleh M Lili Nur Aulia

 

(Hal-76) “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti saat ia menginginkan sesuatu. Jika sesuatu itu diinginkan Allah, ia lanjut melakukannya. Tapi bila sesuatu itu bukan karena Allah maka ia menundanya.

(Imam Hasan Al Basri Rahimahullah)

Saling Mengingatkan tentang Niat
Saling Mengingatkan tentang Niat


Inilah ungkapan Imam Hasan Al Basri Rahimahullah yang mencerminkan makna Muraqabatullah (rasa dipantau oleh Allah Swt) yang seharusnya ada dalam diri kita. Perkataan ini juga sekaligus menekankan pentingnya kita mempunyai niat yang benar sebelum melakukan tindak apapun. Itulah juga yang menyebabkan Abu Sulaiman mengatakan,

“Beruntunglah orang yang awal langkahnya benar, dengan keikhlasan demi mengharap Allah Swt (Hal-77) saja.”

Saudaraku,

Niat. Mungkin sedikit dari kita yang peduli dengan kata itu. Padahal niat, menempati kedudukan yang paling dasar terhadap nilai amal. Besar kecil, bahkan dinilai atau tidaknya amal yang dilakukan, tergantung dari niat pelakunya.

Saudaraku,

Menghadirkan niat dalam amal, tidak mudah. Perlu kesungguhan dan keseriusan. Menurut para ulama, niat harus meliputi seluruh amal kita. Niat tidak sekadar sebelum melakukan sesuatu, tapi niat harus hadir saat kita melakukan pekerjaan itu bahkan hingga kita menyelesaikannya.

Baca Juga: Hanya Karena Kehendak Allah 

Seperti ungkapan Imam Al Ghazali rahimahullah :

“Niat itu hanyalah spontanitas hati (inbi’ats al qalb), yang berjalan melalui jalan-jalan yang dibukakan Allah Swt. Niat masuk dalam wilayah ikhtiar manusia. Mungkin saja dia hadir mudah dalam waktu tertentu tapi bisa mudah berubah pula. Niat ikhlas umumnya akan mudah muncul bila hati seseorang memang cenderung kepada agama, bukan kepada dunia.”

Sebatas keikhlasan, sebatas itulh kadar balasan yang diberikan Allah Swt. Itu sebabnya Umar bin Khatab ra kerap berdoa:

“Ya Allah jadikanlah semua amal-amalku adalah keshalihan, dan jadikanlah semata ia hanya untuk-Mu semata, dan jangan sampai amal itu sedikitpun untuk seseorang.”

Saudaraku,

Orang yang mengikhlaskan niatnya karena Allah Swt tidak mengunjungi saudaranya karena tidak enak dengan orang lain. Tapi ia datang untuk mencari pahala dan keridhaan Allah Swt. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw mengatakan:

“Bila seorang menjenguk saudara Muslimnya, maka sesungguhnya ia tengah berjalan dalam naungan pohon surga sampai ia duduk. Dan bila ia duduk, akan dicurahkan rahmat Allah Swt untuknya. Lalu bila ia pulang, akan bershalawat atasnya tujuh puluh ribu Malaikat sampai sore hari. Hingga bila sore hari, akan bershalawat lagi atasnya tujuh puluh ribu Malaikat sampai subuh.”

Orang yang ikhlas karena Allah tidak menunggu pertolongan orang yang pernah ditolongnya, tapi ia akan menolong karena Allah Swt karena ia meyakini hadits Rasulullah Saw,

“Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya.”

(HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah Saw juga bersabda,

“Termasuk amal yang paling baik adalah memasukkan kebahagiaan dalam diri seorang Mukmin, membayarkan hutangnya dan memenuhi (Hal-78) keperluannya, dan meringankan penderitaannya.

(Hadits Shahih)

Ia juga tidak berpuasa karena alasan bahwa puasa itu memberi manfaat pada kesehatan badan. Tapi karena untuk mengerjakan perintah Allah Swt. Ia menghamba kepada Allah Swt bukan menghamba pada hasil penelitian kesehatan. Seorang perempuan yang niatnya Ikhlas kepada Allah, tidak memakai jilbab untuk melindungi diri dari pengaruh buruk dan membahayakan dirinya. Atau untuk melindungi rambut dari kekeringan atau kotoran. Atau, juga bukan untuk mengikuti keinginan pihak lain. Tapi ia melakukannya karena perintah Allah Swt yang telah mewajibkan dirinya mengenakan jilbab.

 Baca Juga: Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku 

Saudaraku,

Tentu saja, tidak mudah membersihkan dan membentengi hati dari ragam niatan yang menyimpang sejak kita memulai suatu amal, ketika beramal sampai setelah beramal. Tapi di situlah tantangannya, dan mengapa kedudukan niat begitu mendasar dan justru timbangan penilai amal seseorang.

Saudaraku,

Tahukah kita bahwa satu amal shalih, bisa berlipat ganda bila kita niatkan dengan lebih satu niat? Dan itu bisa dilakukan Imam Ghazali mengatakan,

“Satu ketaatan  bisa diniatkan untuk banyak kebaikan. Dan setiap niat itu memiliki pahalanya. Bila satu niat kebaikan berbalas satu pahala, kemudian setiap kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Misalnya duduk di Masjid adalah ketaatan. Tapi seseorang bisa mempunyai niat yang banyak dengan melakukan duduk di masjid itu. Bisa ia berniat untuk menunggu shalat sebagaimana dianjurkan Rasulullah Saw, bisa berniat untuk I’tikaf dan menjaga anggota tubuh dalam ketaatan, bisa diniatkan untuk menghindari ragam kesibukan yang menjauhkan diri dari Allah dengan hadir di masjid, bisa diniatkan untuk berdzikir kepada Allah di Masjid, dan niat-niat kebaikab lainnya. Begitulah juga terhadap amal-amal lain dalam semua ketaatan. Karena ketaatan itu seluruhnya bisa memiliki banyak niat.”

Suatu hari Abu Musa Al Asy’ari berdikusi dengan Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhuma tentang bangun malam. Abu Musa mengatakan,

“Aku Tidur di awal malam dan bangun di akhir malam, agar aku mendapat pahala baik dalam kondisi tidur (karena berniat bangun malam) dan ketika bangun melakukan shalat malam.”

Para Shalarusshalih mempunyai prinsip seperti ini,

“aku senang bila setiap amal yang aku lakukan dibarengi dengan niat. Sampai ketika aku makan, ketika minum, ketika masuk kamar mandi, semuanya aku niatkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Karena semua latar belakang yang menjadikan badan sehat dan hati tenang adalah tuntutan agama ini. Maka siapapun yang meniatkan semua amalnya untuk ketakwaan pada Allah, itu adalah ibadah.”

Saudaraku,

Mari kita perhatikan lagi niat di balik apa pun yang kita lakukan di sini. Mari saling ingatkan kita masing-masing tentang niat yang mengiringi apa pun pekerjaan kita dalam kebersamaan ini. Sama-sama menjaga, agar niat kita tidak terpesong dari keikhlasan kepada Allah Swt.   ***


Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar