Saling Mengingatkan tentang Niat
Oleh M Lili
Nur Aulia
(Hal-76) “Semoga
Allah merahmati seorang hamba yang berhenti saat ia menginginkan sesuatu. Jika
sesuatu itu diinginkan Allah, ia lanjut melakukannya. Tapi bila sesuatu itu
bukan karena Allah maka ia menundanya.
(Imam Hasan
Al Basri Rahimahullah)
Saling Mengingatkan tentang Niat |
Inilah
ungkapan Imam Hasan Al Basri Rahimahullah yang mencerminkan makna Muraqabatullah
(rasa dipantau oleh Allah Swt) yang seharusnya ada dalam diri kita. Perkataan
ini juga sekaligus menekankan pentingnya kita mempunyai niat yang benar sebelum
melakukan tindak apapun. Itulah juga yang menyebabkan Abu Sulaiman
mengatakan,
“Beruntunglah orang yang awal langkahnya benar, dengan keikhlasan demi mengharap Allah Swt (Hal-77) saja.”
Saudaraku,
Niat.
Mungkin sedikit dari kita yang peduli dengan kata itu. Padahal niat, menempati
kedudukan yang paling dasar terhadap nilai amal. Besar kecil, bahkan dinilai
atau tidaknya amal yang dilakukan, tergantung dari niat pelakunya.
Saudaraku,
Menghadirkan
niat dalam amal, tidak mudah. Perlu kesungguhan dan keseriusan. Menurut para
ulama, niat harus meliputi seluruh amal kita. Niat tidak sekadar sebelum
melakukan sesuatu, tapi niat harus hadir saat kita melakukan pekerjaan itu
bahkan hingga kita menyelesaikannya.
Baca Juga: Hanya Karena Kehendak Allah
Seperti
ungkapan Imam Al Ghazali rahimahullah :
“Niat itu
hanyalah spontanitas hati (inbi’ats al qalb), yang berjalan melalui jalan-jalan
yang dibukakan Allah Swt. Niat masuk dalam wilayah ikhtiar manusia. Mungkin
saja dia hadir mudah dalam waktu tertentu tapi bisa mudah berubah pula. Niat
ikhlas umumnya akan mudah muncul bila hati seseorang memang cenderung kepada
agama, bukan kepada dunia.”
Sebatas
keikhlasan, sebatas itulh kadar balasan yang diberikan Allah Swt. Itu sebabnya Umar
bin Khatab ra kerap berdoa:
“Ya Allah
jadikanlah semua amal-amalku adalah keshalihan, dan jadikanlah semata ia hanya
untuk-Mu semata, dan jangan sampai amal itu sedikitpun untuk seseorang.”
Saudaraku,
Orang yang
mengikhlaskan niatnya karena Allah Swt tidak mengunjungi saudaranya karena
tidak enak dengan orang lain. Tapi ia datang untuk mencari pahala dan keridhaan
Allah Swt. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw mengatakan:
“Bila
seorang menjenguk saudara Muslimnya, maka sesungguhnya ia tengah berjalan dalam
naungan pohon surga sampai ia duduk. Dan bila ia duduk, akan dicurahkan rahmat
Allah Swt untuknya. Lalu bila ia pulang, akan bershalawat atasnya tujuh puluh
ribu Malaikat sampai sore hari. Hingga bila sore hari, akan bershalawat lagi
atasnya tujuh puluh ribu Malaikat sampai subuh.”
Orang yang
ikhlas karena Allah tidak menunggu pertolongan orang yang pernah ditolongnya,
tapi ia akan menolong karena Allah Swt karena ia meyakini hadits Rasulullah
Saw,
“Barangsiapa
yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya.”
(HR. Bukhari
Muslim)
Rasulullah
Saw juga bersabda,
“Termasuk
amal yang paling baik adalah memasukkan kebahagiaan dalam diri seorang Mukmin,
membayarkan hutangnya dan memenuhi (Hal-78) keperluannya,
dan meringankan penderitaannya.
(Hadits
Shahih)
Ia juga tidak berpuasa karena alasan bahwa puasa itu memberi manfaat pada kesehatan badan. Tapi karena untuk mengerjakan perintah Allah Swt. Ia menghamba kepada Allah Swt bukan menghamba pada hasil penelitian kesehatan. Seorang perempuan yang niatnya Ikhlas kepada Allah, tidak memakai jilbab untuk melindungi diri dari pengaruh buruk dan membahayakan dirinya. Atau untuk melindungi rambut dari kekeringan atau kotoran. Atau, juga bukan untuk mengikuti keinginan pihak lain. Tapi ia melakukannya karena perintah Allah Swt yang telah mewajibkan dirinya mengenakan jilbab.
Baca Juga: Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Saudaraku,
Tentu saja,
tidak mudah membersihkan dan membentengi hati dari ragam niatan yang menyimpang
sejak kita memulai suatu amal, ketika beramal sampai setelah beramal. Tapi di
situlah tantangannya, dan mengapa kedudukan niat begitu mendasar dan justru
timbangan penilai amal seseorang.
Saudaraku,
Tahukah kita
bahwa satu amal shalih, bisa berlipat ganda bila kita niatkan dengan lebih satu
niat? Dan itu bisa dilakukan Imam Ghazali mengatakan,
“Satu
ketaatan bisa diniatkan untuk banyak
kebaikan. Dan setiap niat itu memiliki pahalanya. Bila satu niat kebaikan
berbalas satu pahala, kemudian setiap kebaikan itu dibalas sepuluh kali
lipatnya. Misalnya duduk di Masjid adalah ketaatan. Tapi seseorang bisa
mempunyai niat yang banyak dengan melakukan duduk di masjid itu. Bisa ia
berniat untuk menunggu shalat sebagaimana dianjurkan Rasulullah Saw, bisa
berniat untuk I’tikaf dan menjaga anggota tubuh dalam ketaatan, bisa diniatkan
untuk menghindari ragam kesibukan yang menjauhkan diri dari Allah dengan hadir
di masjid, bisa diniatkan untuk berdzikir kepada Allah di Masjid, dan niat-niat
kebaikab lainnya. Begitulah juga terhadap amal-amal lain dalam semua ketaatan.
Karena ketaatan itu seluruhnya bisa memiliki banyak niat.”
Suatu hari
Abu Musa Al Asy’ari berdikusi dengan Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhuma
tentang bangun malam. Abu Musa mengatakan,
“Aku Tidur
di awal malam dan bangun di akhir malam, agar aku mendapat pahala baik dalam
kondisi tidur (karena berniat bangun malam) dan ketika bangun melakukan shalat
malam.”
Para
Shalarusshalih mempunyai prinsip seperti ini,
“aku senang
bila setiap amal yang aku lakukan dibarengi dengan niat. Sampai ketika aku
makan, ketika minum, ketika masuk kamar mandi, semuanya aku niatkan untuk
mendekatkan diri pada Allah. Karena semua latar belakang yang menjadikan badan
sehat dan hati tenang adalah tuntutan agama ini. Maka siapapun yang meniatkan
semua amalnya untuk ketakwaan pada Allah, itu adalah ibadah.”
Saudaraku,
Mari kita perhatikan lagi niat di balik apa pun yang kita lakukan di sini. Mari saling ingatkan kita masing-masing tentang niat yang mengiringi apa pun pekerjaan kita dalam kebersamaan ini. Sama-sama menjaga, agar niat kita tidak terpesong dari keikhlasan kepada Allah Swt. ***
Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar